Harus diakui, blog telah menjadi media virtual yang tidak hanya
sekadar dijadikan sebagai media berekpresi, tetapi juga telah menembus dimensi
industri. Sudah banyak blogger di negeri ini yang sukses meraup dolar melalui
blog yang di-monetisasi-nya. Meski demikian, blog tetap saja tak bisa
dipisahkan fungsinya sebagai media sosial untuk berinteraksi dengan sesamanya
secara maya. Bahkan, ada yang bilang bahwa blog telah menjadi bagian dari
masyarakat posmo alias post-modernisme. Jadi bagian dari masyarakat posmo,
dinilai kurang elegan jika belum memiliki blog sebagai bagian dari citra dan
aktualisasi dirinya.
Merujuk pendapat dari berbagai sumber, secara umum
kebudayaan postmodern (posmo) memiliki beberapa karakter, di antaranya
pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi
otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis,
merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya,
kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda,
dan didominasi oleh pemirsa. Postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari
kecenderungan modern, khususnya untuk mengatasi ambivalensi dalam
mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman.
Selain itu, menurut Akbar S. Ahmed, dalam masyarakat posmo
juga ditandai dengan munculnya berbagai fenomena yang cenderung “memberontak”
terhadap status quo, di antaranya: (1) timbulnya pemberontakan secara kritis
terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat
tansendental (meta-narasi), dan semakin diterimanya pandangan
pluralisme-relativisme kebenaran; (2) meledaknya industri media massa, sehingga
ia bagaikan perpanjangan tangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang
pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan
media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler. Dalam artian
perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa semisal program televisi; (3) munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau
alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi
dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia.
Tetapi sebaliknya yang terjadi adalah penindasan; (4) munculnya kecenderungan
baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme
dengan masa lalu; (5) semakin terbukanya peluang bagi klas sosial atau kelompok
untuk menemukakan pendapat secara bebas; atau ke-(6) bahasa yang digunakan
dalam wacana postmodernidme seringkali mengesankan ketidak jelasan makna dan
inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era-posmo” banyak mengadung paradoks.
Dalam konteks kekinian, agaknya masyarakat kita juga telah
mengalami banyak pergeseran. Ketidakpuasan terhadap anasir-anasir kehidupan
modern yang dianggap telah gagal dalam memuliakan martabat kemanusiaan,
disadari atau tidak, ikut mendorong banyak kalangan untuk tidak lagi menghamba
pada kekuatan modernisme yang lebih banyak mengusung nilai-nilai kapitalisme
berbasis liberalisme dan materialisme. Jalur-jalur alternatif untuk membuka
wacana baru yang lebih komunal dan bersahabat melalui berbagai media dan
organisasi telah menumbuhkan kesadaran bersama bahwa nilai-nilai modern telah
memenjarakan nilai-nilai luhur kemanusiaan sehingga layak untuk ditinggalkan.
Di ranah dunia maya, dalam amatan awam saya, telah
bermunculan banyak blog yang membuka wacana kritis dan terbuka terhadap
berbagai kemungkinan tafsir. Dalam atmosfer dunia maya yang demikian terbuka,
seorang bloger memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk berkomentar dan
berpendapat sesuai dengan alur pemikirannya masing-masing berdasarkan diskursus
yang ditawarkan. Bloger siap berpendapat dan siap untuk didebat. Sepanjang yang
diperdebatkan masih relevan dengan substansi wacana yang ditawarkan, saya
pikir, blog bisa menjadi sebuah media virtual yang mencerahkan dan membuka
wacana pemikiran publik yang jauh lebih luas dan mendalam.
Dari sisi ini, agaknya sang bloger juga sudah menjadi
bagian dari masyarakat posmo yang anti-penyeragaman pemikiran. Bloger yang
berasal dari berbagai latar belakang lintas-budaya, suku, ras, agama, golongan,
sosial, profesi, atau berbagai atribut primordial lainnya, menjadi kelompok
entitas sosial yang cenderung inklusif dengan pemikiran-pemikiran kritis
sebagai upaya untuk ikut berkiprah membangun masyarakat sipil yang lebih
demokratis dan egaliter dalam suasana interaksi yang lebih terbuka dan
egaliter. Melalui aktivitas dan interaksi secara maya yang secara intens
dilakukan, seorang bloger sudah terbiasa berbeda pendapat dan tidak pernah
mengakui adanya otoritas penafsiran tunggal terhadap wacana yang sedang
dibangun.
Seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat
yang makin mengarah ke situasi post-modernisme, agaknya blog akan terus menjadi
media maya yang diminati sebagai “rumah” untuk menampung pemikiran-pemikiran
kritis dan kreatif akibat situasi sosial di dunia nyata yang makin chaos dan
tidak nyaman. Akankah ini membenarkan munculnya sebuah fenomena bahwa blog
telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat posmo?
1 komentar:
postingan yang bagus tentang blog sebagai gaya hidup masyarakat
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK