A. Politik Local Sulawesi Tengah
Dalam Prespektif Pluralis
Dalam kehidupan bermasyarakat di Sulawesi tengah ini
sering kita temukan berbagai ragam baik itu suku, agama dan kelompok-kelompok
lain yang berbeda-beda hal ini mempermuda para elit politik local untuk
mengkonfigurasikan publik dari berbagai kelompok untuk membentuk kelompok
kepentingan atau intereset group.
Dalam perkembangannya kelompok kepentingan ini yang
dijadikan sebagi sebuah manifestasi konkrit dari nilai normative kemajemukan
masyarakat local untuk memberikan kebebasan dalam berpolitik khususnya di rana
politik local Sulawesi tengah.
Politik local Sulawesi tengah sangatlah cocok konsep
pluralis karena kelompok-kelompok kepentingan ini sangat berpengaruh dan
mempunyai peran penting dalam politik local. Hal ini terbukti dengan adanya
pengangkatan symbol-simbol atau icon-icon dalam kelepok-kelopok tersebut untuk dijadikan
sebgai isu-isu politik.
Isu-isu yang diangkat selalu sejalan dengan kebijakan
politik sehingga menghasilkan output kebijakan yang baik. Contoh isu-isu
politik yang berasal dari kelompok kepentingan adalah nosarara nosabotutu dari
suku kaili dan sintuvo maroso dari suku pamona.
Selama ini Politik lokal Sulawesi tengah hanya berurusan pada soal-soal
administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan
semata. Politik local Sulawesi tengah penekanannya hanya pada pemerintahan
lokal hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja.
Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu
memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih
utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik,
dan social.
B. Politik Local Sulawesi Tengah
Dalam prespektif Marxist
Melihat dinamika-dinamika politik Sulawesi tengah
sampai saat ini tidak bisa dipunkiri lagi bahwa konsep dari Marxist ini masi
sangat melekat di kalangan para elit politik kita. Mereka masi mengangap bahwa
kekuasaan itu hanya ada pada sekelompok kepentingan saja sehingga ini suda
membudaya dalam politik local kita. Tidak ada penyebaraluasan kekuasaan yang
dilakukan oleh para actor politik.
Konsep politik local sulteng akan terus menerus masi
melekat konsep Marxist akan menimbulkan
konflik yang besar baik dikalangan pemerintah maupun public karena konsep
Marxist ini hanya melihat bahwa kekuasaan berada pada satu kelompok tertentu
yang sangat dominan dan tidak menyebar.
Dengan ketidak adanya penyebaran kekuasaan yang merata
itulah yang akan meberikan peluang kepada kelompok kepentingan untuk saling
merebut kekuasaaan untuk dijadikan sebagai boomerang dalam politik local. Sehinga
hanya orang-orang yang berada dalam kelompok tersebut yang mendapatkan kekuasaan.
Konsep marxis ini menurut saya tidaklah cocok untuk
diterapakan dalam politik local Sulawesi tenggah karena karena di daerah kita
ini terdapat banyak kelompok-kelompok etnis suku dan agama, ketika kesemuanya
kelompok ini ingin mendapatkan kekuasaan secara otomatis ada kecemburuan social
dan bisa saja menimbulkan konflik, seperti yang terjadi di poso, dan banggai
kepulauan pada saat pemindahan ibu Kota Kabupaten. Oleh karena itu ketika konflik terus terjadi
di daerah maka politik local Sulawesi tengah diangap gagal dan penerapan local
wisdem tidak akan terealisasikan dengan baik.
C. Politik Local Sulawesi Tengah
Dalam prespektif Kanan Baru
Perspektif kanan baru(New Right) memiliki sikap anti
kolektivisme, anti buruh dan anti spirit kesejahteraan. Dalam tatanan politik
local prespektif kanan baru ini tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Sulawesi
tengah karena kelompok yang paling berpengaruh di bidang politik salah satunya
adalah buru.
Dalam politik local Sulawesi tengah buruh merupakan
power masa yang perlu diperhitungkan. Seprti yang kita ketahui bahwa buru ini
selain suplay kekuatan masa yang kuat buruh ini juga terlibat dalam mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Namun pada realitanya di Sulawesi tenggah ini para elit
politik local suda mengintimidasi para buruh.
Kekuatan politik buruh sangat berperan didalam sistem
politik di Indonesia dan pada khususnya pada politik local namun yang
benar-benar berpengaruh dan menonjol hanya beberapa saja. Itulah sebabnya
politik local Sulawesi tengah dalam pendekatan kanan baru jarang ditemukan.
D. Politik Local Sulawesi Tengah
Dalam prespektif Ketergantungan
Secara umum dikatakan bahwa tidak
ada satu daerah yang berkembang dengan sendirinyi tanpa ada bantuan dari pusat
maupun daerah lain. Orang-orang yang ada pada kekuasaan selalu saja
menginginkan adanya sumbangsi untyk memajukan daerah ini baik dari segi materi
dan lain sebagainya.
Ketrgantunyan ini disebabkan
karena melihat potensi baik dari sumber daya alam maupun sember daya manusia di
Sulawesi tengah ini masi rendah. Hal ini tidak memungkinkan oleh elit politik
untuk memajukan daerah ini dan bukan hanya itu saja di kalangan politikpun masi
terlihat bahwa para elit politik ini masi bisa dipengaruhi oleh orang-orang
yang ada dipusat.
Ketergantungan ini menjadi sebuah
dilemma bagi politik Sulawesi tengah sehingga para elit politik memainkan
perannya di daerah tidak berjalan sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada di
Sulawesi tengah ini. Hal ini dibutuhkan sebuah konsep untuk merubah
ketergantungan ini agar supaya para elit politik kita bekerja sesuai dengan
nilai-nilai yang ada disulawesi tengah.
POLITIK LOCAL DALAM DIMENSI WAKTU
(pra kemedekaan, ordelama, ordebaru dan reformasi)
Politik lokal di Indonesia selalu berubah sepanjang
tahun. Pada era sebelum kemerdekaan, politik lokal di Indonesia menunjukan
potret buram karena penguasa memperoleh kekuasaan dalam kerangka hukum adat
yang totaliter. Akibatnya mayoritas masyarakat hanya diakui sebagai hamba
(bukan warga) yang tidak pernah menjadi objek dari pembangunan semasa itu. Masyarakat
dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak berpihak kepada mereka. Para
penguasa selalu menarik pajak dan upeti melalui aparatur represif yang
menjadikan kondisi ekonomi masyarakat semakin terpuruk. Perlakuan penguasa yang
tidak manusiawi itu kemudian mencetuskan perlawanan rakyat. Kehadiran dan
kiprah orang kuat lokal telah menegaskan atas melembaganya local strongmen dan
polisentrisme di masa lalu.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ketika kekuatan
masyarakat mulai masuk ke lembaga-lembaga formal yang merupakan legasi positif
dari kolonial Belanda untuk menyediakan kesempatan bagi masyarakat awam
terlibat dalam konteks implementasi politik etis. Para elit tradisional
harus bersaing dengan masyarakat umum yang sama-sama berusaha mendapatkan
posisi dalam lembaga negara. Ketegangan politik yang bernuansa etmisitaspun
meningkat semasa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin khususnya diluar
Jawa dimana militer ikut campur tangan.
Indonesia di bawah kekuasaan rezim otokratik
(1966-1998) selama 30 tahun lebih, sistem politik ditingkat pusat maupun daerah
sangat terkontrol oleh pusat kuasa di Jakarta. Badan eksekutif dan legislatif
di kabupaten, kota, dan provinsi terkunci dalam hegemoni Jakarta ini
disebabkan posisi pejabat di daerah pada dasarnya ditentukan oleh Depdagri yang
berkepentingan mengendalikan kekuasaan elit lokal. Hal tersebut terlihat dalam
upaya yang dilakukan elit politik pusat pada saat pemilihan gubernur Riau pada
tahun 1985. Kontrol tidak hanya dilakukan oleh Pusat pada lembaga sipil
dipemerintahan daerah saja, tetapi juga dilaksanakan pada lembaga kemiliteran.
Elit politik pusat telah menyiapkan hadiah kepada perwira aktif maupun
purnawirawan yang setia dan mau tunduk terhadap kehendak pusat dengan
memberikan kepada mereka kursi dilegislatif dan eksekutif.
Ledakan politik yang didenatori oleh gerakan
mahasiswa berhasil menghancurkan kuasa pusat di Jakarta. Ambruknya Orde Baru
sekaligus menandai polisentrime baru yang menolak kuasa pusat. Perubahan haluan
dari politik lama yang tersentralisasi dan terkontrol kepada politik baru yang
terdesentralisasi dan egaliter membawa angin segar bagi politik lokal di
Indonesia.
Melalui proses demokratisasi dan desentralisasi, para
lokal strongmen dan bos ekonomi semakin memperoleh kesempatan untuk menjabat
kursi sentral di lembaga pemerintah daerah dibandingkan masa sebelumnya. Dalam
konteks lain politik lokal juga mesti dipahami sebagai arena persaingan antara
birokrat dari bangsawan, birokrat dari masyarakat awam, dan para local strongmen.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa politik lokal di
Indonesia mengalami dinamika polotik yang sering kali bergejolak. Keadaaan
seperti ini akibat dari pengendalian ketat oleh pemerintah pusat, pembatasan
luar biasa atas kebebasan berpendapat di bidang politik dan ekonomi,
eksploitasi dan penggelapan sumberdaya. Banyak di antara peningkatan
konflik, persaingan, maupun manfaat jangka pendek yang terjadi terkait dengan
terbukanya peluang seluas-luasnya dalam kondisi kelembagaan yang belum stabil.
Terkait dengan hal tersebut ini akan menimbulkan
pertarungan untuk memperoleh akses antara berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan
politik dengan pemerintah daerah, dan antara pusat dengan daerah. Menjadi
menarik karena Undang-Undang telah menyediakan lahan pertarungan tersendiri
pasca reformasi. Namun aktor lokal yang tidak memiliki patron, modal
politik, ekonomi, dan sosial sulit sekali menjadi aktor nasional. Salah satu
cara mudah yaitu melalui otonomi daerah untuk membaca politik lokal dimana
didalamnya terdapat aktor lokal yang bersaing. Dua hal yang menonjol dari
kedinamisan politik lokal di Indonesia yakni, pertama politik lokal di selalu
dikendalikan oleh pusat karena SDM yang menggiurkan, serta munculnya local
strongmen sebagai akibat yang disebutkan hal pertama.
Tahapan berikutnya pemerintahan di Indonesia akan
merupakan sebuah penyesuaian terhadap masa transisi dan merupakan masa
pembangunan kelembagaan yang tepat untuk situasi dan kondisi saat ini. Dimana
tidak akan ada pembangunan jika tidak ada korupsi begitu pula sebaliknya.
Sebuah alasan untuk meyakini bahwa pembelajaran dan penyesuaian seperti
itu akan terus berlanjut. Bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat memang
harus bekerjasama untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dan meminimalkan kerusakan
lingkungan dengan melahirkan pemimpin yang aspiratif
PENTINGNYA POLITIK LOKAL DI ERA MODEREN
Pada dasarnya
semua hal mempunyai segi positif dan segi negatifnya. Saya yakin bahwa politik lokal akan berkembang
serta membawa dampak yang lebih bagi kehidupan bangsa dan Negara ini, dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika, dengan adanya politik local kita dapat mempersatukan
berbagai macam suku, ras dan agama dan menjalin kerukunan sehingga politik
lokal yang berjalan bersifat efektif dan mampu menyelesaiakan malasah-masalah yang
dialami masyarakat dan juga politik lokal telah ada sebelum Indonesia Merdeka
sehingga hal ini adalah sebuah dinamika yang telah ada pada masa dahulu sebagai
warisan pendahulu kita. Selain itu fungsi-fungsi yang
lain dengan adanya politik lokal ini adalah membuka ruang partisipasi
masyarakat untuk berkontribusi dalam membangun bangsa dan Negara ini.
Memberikan kesempatan kepada daerah untuk mandiri dan otonom sehingga Negara
terkurangi biaya tanggungan atas daerah yang mandiri. Optimisme harus dirasakan
oleh semua kalangan masyarakat akan adanya politik lokal karena politik lokal
membuka kesempatan bagi kita untuk ikut serta dalam membangun dan
mensejahterahkan negeri ini.
2 komentar:
postingan yang bagus tentang analisis-politik-lokal-sulawesi-tengah
mkasi
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK