Ada kalimat yang menarik perhatian saya dari salah satu
koran yang saya baca.”Mumpung bulan puasa mari kita berpuasa dari politik, tak
usah berpolitik dulu,”tulis media itu mengutip imbauan seseorang sehubungan
dengan bulan Ramadan. Imbauan seperti itu, tak pelak, berangkat dari asumsi
bahwa politik itu kotor dan berpolitik itu adalah dosa sehingga harus dihindari
dulu selama Ramadan. Tentu saja asumsi seperti itu salah karena dua hal.
Pertama, kalau politik itu haram dan
dosa dilakukan, maka ia tak boleh dilakukan bukan hanya pada bulan Ramadan,
tetapi juga tak boleh dilakukan kapan pun dan di mana pun. Kedua, asumsi itu
juga salah karena hanya lahir dari fakta kekinian dan kedisinian bahwa dunia
politik kita, dalam lingkup dan institusi-institusi tertentu, sedang dianggap
kotor.
Politik
di Indonesia sekarang ini memang sedang menjadi terdakwa dari berbagai problem
serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia.Taruhlah penegakan hukum yang
karut-marut dan penuh debat kusir yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh politik
kotor. Ada pengacara, misalnya, yang pernah berteriak agar si anu segera
ditangkap karena indikasi korupsinya kuat, tetapi ketika dirinya diminta
menjadi pengacara si anu itu, dengan kalap sang pengacara membela si anu itu
sebagai orang yang bersih.
Selain itu ada fenomena saling kunci
dan saling sandera dalam penegakan hukum sehingga upaya penegakan hukum selalu
diserimpung oleh politik. Kalau si A ditangkap, ada ancaman kasus si B juga
akan dibongkar; kalau si B tertangkap, si C akan kena sehingga daripada
ribut-ribut tak usah saling usik dan tak usah ada yang diusik.
Korupsi diselesaikan secara TST (tahu
sama tahu). Permainan politik kemudian menjadi riuh rendah mengganggu proses
penegakan hukum. Yang menjengkelkan, jika seseorang ditangkap KPK berdasarkan
bukti minimal yang sudah cukup,yang ditangkap atau pengacaranya kerap kali
menuduh bahwa kasusnya dipolitisasi. Ada yang bilang dirinya dijadikan korban
politik karena untuk kepentingan parpol tertentu.
Padahal, dalam faktanya, koruptor dari
semua parpol ditangani secara proporsional oleh KPK. KPK pun tak terbukti
pernah merekayasa kasus, sebab dalam kenyataannya, sampai sekarang, semua yang
dijadikan terdakwa oleh KPK pasti bisa dibuktikan telah melakukan korupsi
sehingga dihukum oleh pengadilan. Begitu pun setiap banding, kasasi, atau
permohonan peninjauan kembali (PK) yang dipergunakan untuk melawan putusan
pengadilan dari kasuskasus yang digiring oleh KPK ternyata selalu kandas.
Artinya, pengadilan tinggi maupun
Mahkamah Agung selalu membenarkan KPK, bahkan tak jarang MA menaikkan hukuman
bagi mereka yang melakukan kasasi. Itu artinya tak ada politisasi yang
dilakukan KPK. Permainan politiklah yang memang sedang merusak sendi-sendi
kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin karena itulah di benak
masyarakat tertanam pengertian bahwa politik itu kotor.
Apalagi dalam faktanya juga dunia
politik kita diwarnai oleh caci maki di depan publik antartokoh politik
sendiri. Begitu juga politik uang dan perampokan kekayaan negara merebak di
mana-mana dengan menggunakan jalur-jalur politik. Seperti saya katakan,
pendapat bahwa politik itu kotor, sehingga harus dipuasakan, muncul karena asumsi
yang salah, yang lahir karena fakta karut- marut dunia politik kini dan di
sini.
Juga karena politik itu diartikan
secara sempit sebagai kegiatan ikut dalam kegiatan partai politik. Padahal
politik itu mencakup dimensi luas yang tidak identik dengan partai politik. Ia
mencakup semua kegiatan (gerakan politik) untuk memengaruhi pembuatan kebijakan
publik (politik dalam arti policy) yang punya konsekuensi mengikat bagi rakyat.
Dalam arti ini berpolitik dengan ikut parpol hanya sebagian kecil dari gerakan
politik.
Jadi,sejatinya politik itu fitrah,
bagian dari bawaan asal manusia. Manusia adalah zoon politicon, makhluk yang
tak bisa lepas dari politik, terutama dalam arti bahwa politik itu adalah
kegiatan untuk memengaruhi penggunaan kekuasaan atau pembuatan policy yang
mengikat rakyat. Makanya pernyataan orang bahwa dirinya tak mau berpolitik
sebenarnya juga merupakan sikap berpolitik, yakni sikap tak ikut-ikutan
mendukung atau menolak tokoh atau program politik.
Tapi yang bersangkutan tetap tak bisa
menghindarkan diri atau menolak konsekuensi keputusan-keputusan pemegang
kekuasaan politik. Itulah sebabnya, Imam al-Ghozaly mengatakan bahwa
memperjuangkan perintah agama dan mempunyai pengaruh atas kekuasaan politik itu
merupakan dua saudara kembar (al-dien wal sulthaan taw’amaan).
Banyak nilai kebenaran yang tumbuh dan
diyakini di tengah-tengah masyarakat tak mungkin bisa ditegakkan kalau tidak
melalui gerakan politik. Dilihat dari sudut ini, politik yang pada dasarnya
netral malah menjadi aktivitas mulia yang wajib dilakukan. Oleh sebab itu, yang
harus dilakukan dalam bulan puasa ini, dalam konteks politik, bukan berpuasa
politik dalam arti berhenti dari kegiatan politik, melainkan mengendalikan dan
mengarahkan syahwat politik agar tidak destruktif terhadap kemaslahatan
masyarakat.
Semua harus sadar bahwa politik kotor
akan menimbulkan ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum, sedangkan
ketidakadilan dan tidak tegaknya hukum secara pasti menggiring ke kehancuran
suatu bangsa dan negara. Mari kita lakukan puasa politik dengan cara
membersihkan niat dan memperbarui langkah dengan pemahaman bahwa berpolitik itu
sebagai bagian dari ibadah untuk membangun kemaslahatan, bukan mengumbar hawa
nafsu dan syahwat politik.
0 komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK