OTONOMI DESA

Rabu, 28 November 2012 Label: , , ,


Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko (2005:xiii) mengemukakan bahwa:
Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi desa adalah: 1) secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat hukum dan self-governing community yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur antara negara, kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara memang telah memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik ketimbang substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak menuntut desentralisasi dan otonomi”
Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.
Sumardjan (1996:5) mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami pembangunan mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa adalah pada tanah, 2) teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata hidup dan sosial berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial sendiri), 4) sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan kultur, dan 5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi desa baik sebagai subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial. Saragi (2004:x-xiv) mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi institusi pedesaan yaitu: pertama, dukungan untuk membangkitkan institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua, membangun kepemimpinan baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara kokoh sebagai bagian integral dari perkembangan politik nasional, dan keempat, perlu atau tidaknya demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat lokal diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif masyarakat. Ndraha (2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat sebagai berikut, pertama, peningkatan nilai sumber daya (subkultur ekonomi) seperti: a) membeli semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c) membuat sehemat mungkin, kedua, penciptaan keadilan dan kedamaian (subkultur pemerintahan) seperti: a) berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, c) mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin, dan ketiga, kontrol terhadap kekuasaan (subkultur sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya konsumeristik, c) collective behavior ke collective action. Check-and-balance dapat terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi dan selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih lemah daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan popularitas.
Sinergi ketiga subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu menumbuhkan dan menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi masyarakat desa. Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang otonomi desa dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan fenomena sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan. Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan bahwa:
Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa tercermin dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten atau kota, 2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi pemerintah supra desa dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan dihapuskannya wewenang Panitia Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan tetapi harus disertai dengan pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5) adanya peluang diversifikasi penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan desa”
Pola hubungan infra dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam pembangunan. Di samping itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam tata hubungan desa dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa – Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun kepercayaan masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola secara teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma, kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan tanah-tanah khas desa lainnya), potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme dalam pengelolaan desa menuju optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005:xv) menjelaskan bahwa:
Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa itu adalah: pertama, mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat, kedua, memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, ketiga, menciptakan efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat, men-dongkrak kesejahteraan perangkat desa, kelima, menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa, keenam mem-berikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa, ketujuh, menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, kedelapan membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD dan masyarakat dan kesembilan merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal”
Esensi dan substansi rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan masyarakat, partisipasi aktif dan upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan kepada desa menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian desa pada hakekatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan pemerintahan pada level desa sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam kondisi empirik cenderung tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan kemandiriannya mengalami stagnan bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang dimarginlkan menyangkut nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong royong. Sementara itu otonomi desa dalam status dan kedudukan desa, istilah-istilah perangkat desa saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap Gawe, Lebe dan sebagainya telah terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

0 komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK

 
cHiLd________IsLaNd © 2011 | Design Template by cHiLd________IsLaNd | Template Blogger Name | Uniqx Transparent 2.0 | Uniqx Transparent 2.0
close

Sumber : http://ut2a-4down.blogspot.com/2012/03/cara-buat-recent-post-headlines-news.html#ixzz1pRGLqU2o