Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan
prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan
budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun
2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko
(2005:xiii) mengemukakan bahwa:
“Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi desa adalah: 1)
secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat
hukum dan self-governing community yang memiliki sistem pemerintahan
lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih dari 60%
penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi ekonomi-politik,
desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur antara negara,
kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara memang telah
memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing
community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik
ketimbang substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak
menuntut desentralisasi dan otonomi”
Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya
diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan
dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak
dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak
dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh
tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke
depan.
Sumardjan (1996:5) mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami
pembangunan mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa
adalah pada tanah, 2) teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata
hidup dan sosial berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial
sendiri), 4) sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan
kultur, dan 5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi
desa baik sebagai subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial.
Saragi (2004:x-xiv) mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi
institusi pedesaan yaitu: pertama, dukungan untuk membangkitkan
institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua, membangun kepemimpinan
baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara kokoh sebagai bagian integral
dari perkembangan politik nasional, dan keempat, perlu atau tidaknya
demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat lokal diberlakukannya UU
No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan
jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif
masyarakat. Ndraha (2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat
sebagai berikut, pertama, peningkatan nilai sumber daya (subkultur
ekonomi) seperti: a) membeli semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c)
membuat sehemat mungkin, kedua, penciptaan keadilan dan kedamaian
(subkultur pemerintahan) seperti: a) berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan
kekuasaan seefektif mungkin, c) mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan
seformal mungkin, dan ketiga, kontrol terhadap kekuasaan (subkultur
sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya konsumeristik, c) collective
behavior ke collective action. Check-and-balance dapat
terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi dan
selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih lemah
daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan
kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban
pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum
intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap
berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak
tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan
popularitas.
Sinergi ketiga subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu
menumbuhkan dan menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi
masyarakat desa. Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang
otonomi desa dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan
fenomena sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan
dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif
cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan.
Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan bahwa:
“Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa tercermin
dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang mengenai pengaturan
pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten atau kota,
2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai model pemerintahan di
tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi pemerintah supra desa
dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan dihapuskannya wewenang Panitia
Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan tetapi harus disertai dengan
pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5) adanya peluang diversifikasi
penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan desa”
Pola hubungan infra dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam
pembangunan. Di samping itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam
tata hubungan desa dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa
– Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan
demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun
kepercayaan masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola
secara teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang
berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma,
kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan
tanah-tanah khas desa lainnya), potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan
dinamika sosial-politik yang dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme
dalam pengelolaan desa menuju optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan
dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko
(2005:xv) menjelaskan bahwa:
“Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa itu adalah: pertama,
mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat, kedua, memperbaiki
pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, ketiga, menciptakan
efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat,
men-dongkrak kesejahteraan perangkat desa, kelima, menggairahkan
ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa, keenam mem-berikan
kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa
dan potensi desa, ketujuh, menempa kapasitas desa dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan, kedelapan membuka arena pembelajaran yang
sangat bagi pemerintah desa, BPD dan masyarakat dan kesembilan merangsang
tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal”
Esensi dan substansi rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan
masyarakat, partisipasi aktif dan upaya membangun kepercayaan bersama yang
dibingkai dengan sinergitas antara pemerintah dengan yang diperintah. Upaya
mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa itu memerlukan komitmen politik
dan keberpihakan kepada desa menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian
desa pada hakekatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang
disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan
pemerintahan pada level desa sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam
kondisi empirik cenderung tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama
ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian
rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang
hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak
bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat
dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan
tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan
kemandiriannya mengalami stagnan bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan
bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang
dimarginlkan menyangkut nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong
royong. Sementara itu otonomi desa dalam status dan kedudukan desa,
istilah-istilah perangkat desa saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap
Gawe, Lebe dan sebagainya telah terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika
berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
0 komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK