MAKALAH
SISTIM
SOSIAL BUDAYA INDONESI
“Konflik”
Oleh
:
AMRANSYAH
M.SATALI
B
401 08 137
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan segala kemudahan sehingga tugas Makalah SISTIM
SOSIAL BUDAYA INDONESI yang membahas
tentang “Konflik”
ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, walaupun penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
maupun penilai yang sifatnya membangun.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
“Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan kita dalam mempelajari ilmunya”.
Palu,20 juli 2011
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terjadinya
konflik dalam setiap organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat
dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat
dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang
berbedabeda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang
lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan
organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat
menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Dalam menata konflik dalam
organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua fihak yang terlibat
maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang diatas terdapat beberapa masalah yang penulis dapat simpulkan, yaitu :
1.
Apa sebenarnya konflik itu ?
2.
Bagaimana Manifestasi konflik ?
3.
Macam-macam konflik ?
4.
Dari mana Sumber konflik ?
5.
Bagai mana Manajemen konflik yang
efektif ?
6.
Bagaimana Meminimalisir konflik dengan
komunikasi efektif ?
C.
Alasan
memilih judul konflik
Melihat
realita sekarang ini bahwa banyak terjadi konflik, baik itu konflik internal
maupun external sehinga penulis mengangkat tema tentang konflik agar supaya
masyarakat atau teman-teman mahasiswa bisa tau apa sebenarnya konflik itu dan
bagaimana mengatasi konflik.
BAB
II
TEORI-TEORI
KONFLIK
A. Analisa
Konflik Dan Dinamika Konflik
Revolusi konflik
memiliki kepentingan yang sangat besar bagi evolusi dan dinamika konflik yang
terbaru beserta analisisnya : sejarahnya, penyebabnya, dan komposisi
internalnya-pihak-pihak yang bertentangan, sifat dari ketertibannya,
perspektifs, posisi dan motifasinya, perbedaan hubungan antara mereka dalam hal
kekuasaan, kesetiaan dan kepentinggannya.
Ronald Fisher
(1993) membuat garis besar tentang rangkaian dari peningkatan kependudukan yang
dimulai dengan sebuah diskusi. Dari sudut pandang yang optimis, berdasarkan
pengalaman saya konflik kerak dimulai karena tidak adanya diskusi, yang terus
berlanjut pada polarisasi, segragasi, deskrutsi. Chris Mitchel (1981),
memperluas ide tentang siklus konflik, dimana kebiasaan memicu terjadinya sifat
keras kepada peserta akibat-akibatnya, yang kemudian meningkatkan menjadi
persoalan yang lebih subtantif dan kebiasaanya lebih negative, yang
meningkatkan lebih jauh lagi dalam permusuhan ang berbentuk pengunaan kekerasan
oleh pihak-pihak yang terlibat. Friederich Glasl (1997) mengambarkan Sembilan
tahap dari siklus tersebut, yang dilambangkan dengan tangga menurun, dimana
langkah terakhirnya diungkapkan sebagai bersama terjun kejurang. Tulisan Glasl
merupakan karya berlian tetang bagaimana sebuah epolusi menjemblah menjadi
berbagai cara yang irasional dan kontra produktif. Tulisannya dapat meyakinkan
setiap orang bahwa pengolahan dan resolusi dari konflik memerlukan perhatian
yang tidak hanya terletak pada persoalannya saja, namun juga terhadap
kepentingan psikologi dan prosesnya.
B. Teori
Kebutuhan
Salah satu teori
yang sangat berpengaruh terhadap resolusi konflik adalah ‘teori kebutuhan’
milik john burton (1990 dan dalam banyak publikasi), yang berpendapat bahwa
kebutuhan yang tidak terpenuhi merupakan sebagai yang paling sering terjadi dan
sangat serius dalam konflik. Resolusi tidak mungkin tercapai tanpa dipenuhinnya
kebutuhan tersebut. Jika setiap pihak yang bertikai dapat mengetahui
kebutuhannnya masing-masing, mereka mungkin akan dapat melihat bahwa kebutuhan
tersebut tidak perlu dicapai melalui konflik bersenjata atau kondisi tawar
menawar yang sangat a lot, namun melalui pencarian jalan untuk mempertemukan
kebutuhan dari setiap pihak. Cara ini lebih dikenal sebagai pendekatan
‘sama-sama menang’.ungkapan ini terlihat bersifat longgar dan tidak sensitive
dan memberikan kesan bahwa konflik kekerasan (terutama) yang berlarut-larut,
banyak yang suda teratasi. Cara ini juga seakan menyarankan bahwa tidak perlu
terjadi pengorbanan yang tidak realitis. Bahasa dari kebutuhan (mungkin lebih
sebagai ketakutan-baca cornnelius and Faire, 1989) setidaknya dapat menawarkan
cara bagaimana orang-orang saling berhubungan pada tingkatan umum dalam
pengalaman hidup kemanusiaan. Dalam dunia dimana suatu hasutan telah
mengeksploitasi dan mencemarkan nama keadilan untuk memancing terjadinnya
kekerasan dalam hancurnya kebenaran, kehormatan dan kasi sayang, bahasa
kebutuhn yang sangat berbelas kasi mampu melompati tindakan saling menyalakan
dan permusuhan, dan memperkenalkan fungsinnya sebagai pengakuan terhadap nilai
kemanusian dan sifat saling tergantung.
C. Dialog,
Negosiasi, dan peran pihak ketiga
Dialog merupakan
pusat dari resolusi konflik. Dialog dapat terjadi secara umum, untuk membangun
kepercayaan, pengertian dan hubungan kerja sama atau terpokus pada pencarian
kesepakatan yang digambarkan sebagai negosiasi. Sebagi negosiasi dapat
berbentuk sebgai kondisi tawar menawar yang sulit, dimana pada protagonist
memanfaatkan kekuasaanya untuk saling mengeruk keuntungan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Konflik
Konflik adalah pergesekan atau friksi yang
terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing
mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi
jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang
terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan
Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak
yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka
merumuskan Konflik sebagai : "sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja
dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain
dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut
merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi
minatnya". Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses
pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya
adalah salah satu manifestasinya.
Dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat yaitu,
Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata
yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: "sebuah proses
mengekspresikan ketidapuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak
terealisasi". Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik
pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat diartikan sebagai
ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok
dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang
langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau
karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda.
Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya
mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka.
Lebih jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik
harus dianggap sebagai "ada" oleh fihak-fihak yang terlibat dalam
konflik. Dengan demikian apakah konflik itu ada atau tidak ada, adalah masalah
"persepsi" dan bila tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa ada
konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut memang tidak ada.
Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada
sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada
situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai "bernuansa
konflik" ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota
kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita membahas
konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan antara lain,
"oposisi" (lawan), "kelangkaan", dan "blokade".
Diasumsikan pula bahwa ada dua fihak atau lebih yang
tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula
bahwa sumberdaya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam kehidupan
dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang, setiap kelompok atau
setiap unit dalam organisasi akan berusaha memperoleh semberdaya tersebut
secukupnya dan kelangkaan tersebut akan mendorong perilaku yang bersifat
menghalangi oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang sama. Pihak-pihak
tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini
terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi
"konflik".
0 komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK