Kemarin aku bertemu seorang pengusaha wanita. Dari
gayanya, tak nampak jika ia pengusaha besar. "Uang itu tak bisa dipegang
erat-erat," ujarnya sambil menyeruput kopi hangat. "Sekarang aku
punya banyak uang, tapi besok, siapa tahu?" lanjutnya. Makanya, wanita itu
memilih hidup tak ngoyo. Kalau memang sudah waktunya dia dapatkan, pasti rejeki
itu nggak lari kemana pun. Pernah, suatu ketika, ia berusaha mendapatkan sebuah
proyek besar. Nilainya milyaran. Dapat, tapi belum mulai eh, malah dibatalin.
"Sekarang, aku pilih kerja apa adanya. Yang penting aku bekerja, tapi
harus dengan tulus. Hasil akhir, aku serahin sama Tuhan aja. Berapa pun yang
aku dapat, ya segitu aja-lah nilai yang pantas untukku. Semua udah
diatur," tandasnya. Ia lalu bercerita, ketika uang terkumpul begitu banyak
dan habis dalam sekejab hanya karena kebakaran atau dimaling orang.
Kami terhenti sejenak. Ia mengambil croissant dan
membalutnya dengan selembar tisu. Aku sendiri sibuk mengunyah donat coklat
kesukaanku. Pikiranku mulai jalan kemana-mana. "Uang tak bisa dipegang
erat-erat," begitu pikiranku mengulang kalimatnya. Seperti cinta. Tak bisa
dipegang erat-erat. Aku tersenyum. Tiba-tiba aku teringat tulisanku ketika SMA
dulu, "Jika kau mencintai seseorang, biarkan ia terbang bebas. Kalau ia
kembali, ia milikmu. Jika tidak kembali, tentu saja, ia bukan milikmu."
Cinta itu membebaskan, bukan mengekang. Ketika malam itu seorang teman
mengirimkan SMS, "Cinta itu tirani. Ketika kau mengenalnya, kau mulai
memasuki tirani untuk berbagai pengorbanan." Wah, aku tertawa. Ini orang
yang sedang jatuh cinta atau patah hati? Jika ia mulai berbicara pengorbanan,
bukan lagi cinta yang ia sebut.
Sudahlah, uang dan cinta sama saja. Memerlukan kebebasan.
Hmm.. Aku jadi teringat tentang kemelekatan. Yup, cinta dan uang menimbulkan
kemelekatan. Ketergantungan. Jika kemelekatan itu menjadi luar biasa, betapa
tak nyamannya hidup kita.
0 komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK