Desentralisasi dalam pandangan Ruiter dalam Hoogerwerf (1978:500) dapat
diartikan sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang badan-badan umum yang
lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan
berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan
pemerintahan serta struktur wewenang yang dimiliki termasuk didalamnya
prinsip-prinsip pembagian wewenang.
Prinsip-prinsip pembagian wewenang meliputi: 1) unitarisme dan
federal-isme, 2) sentralisasi dan desentralisasi (dalam arti sempit), dan 3)
konsentrasi dan dekonsentrasi. Unitarisme dan federalisme berlaku pada
negara-negara federal, di mana pemerintahan federal dan pemerintahan
negara-negara bagian mendasarkan pelaksanaan wewenangnya atas
konstitusi-konstitusi tersendiri yang bersama-sama menjamin suatu pembagian
wewenang antara negara federal dan negara bagian. Wewenang-wewenang tersebut
tidak saling membawahi, akan tetapi sejajar dengan pembatasan-pembatasan satu
sama lain. Sentralisasi dan desentralisasi digunakan pada bersangkutan dengan
hubungan-hubungan di negara kesatuan atau dalam suatu negara bagian dari suatu
federasi. Negara demikian lebih terdesentralisasi apabila lebih banyak wewenang
dan tugas di bidang pelaksanaan kebijakan diserahkan atau ditugaskan kepada
badan-badan umum yang tidak langsung berada di bawah pemerintahan pusat.
Sedangkan konsentrasi dan dekonsentrasi merupakan kecenderungan untuk
menyebarkan fungsi-fungsi pemerintahan pada jenjang tertentu secara meluas
kepada organisasi pemerintahan.
Lebih lanjut Ruiter (1983:501) menjelaskan bahwa desentralisasi menurut
pendapat umum terbagi dalam dua bentuk yaitu: 1) Desentralisasi teritorial dan
2) fungsional. Desentralisasi teritorial seperti di Nederland,
propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja yang terdesentralisasi secara
territorial. Propinsi-propinsi
dan kota praja-kota praja merupakan kesatuan-kesatuan dengan identitas publik
sendiri. Untuk itu, propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja disebut juga
korporasi-korporasi daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional bentuknya
antara lain badan-badan urusan pengairan, badan kerja sama kota praja termasuk
yang disebut pregewesten.
Ada dua jenis desentralisasi, yakni desentralisasi territorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial adalah penyerahan
kekuasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dan
batas pengaturan tersebut adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional
adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan
batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal
pertanahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Desentralisasi juga bermakna sebagai pengembalian harga diri pemerintah
pusat. Selain itu, kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah pada dasarnya
merupakan koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan unifomisasi
pemerintahan yang selama ini berlaku. Pemahaman yang mendalam terhadap posisi
strategis otonomi dijelaskan Rasyid (2003:9) sebagai berikut:
Posisi kebijakan otonomi daerah sebagai sebuah proyek pengembalian harga
diri pemerintah dan masyarakat daerah. Di masa lalu, banyak masalah di daerah
yang tidak tertangani dengan baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah
daerah di bidang itu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertanahan,
kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perizinan investasi, perusakan
lingkungan, alokasi anggaran dan dana subsidi pemerintah pusat, penetapan
prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai dengan
kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas
wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa serta pemilihan
kepala daerah.
Keterbatasan wewenang daerah berdampak pada tumpulnya kreativitas untuk
mengembangkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia, termasuk upaya
pemerintah untuk memperkecil rentang kendali beban-beban rutin dan teknis.
Lebih jauh Rasyid (2003:9) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari kebijakan
desentralisasi di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang
tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk
mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
manfaat dari padanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih
mampu berkonsentrasi para perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke
daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas
dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan symbol trust dari
pemerintah pusat.
Sejalan dengan pandangan di atas, Gunawan, (2002:79) mengemukakan bahwa
desentralisasi menjadi harapan sekaligus tantangan bagi proses demokratisasi
Indonesia. Globalisasi di semua belahan dunia menimbulkan anomi, disintegrasi,
konflik berbasis lokalitas etnis dan budaya bahkan agama dan ekses idiologi
lainnya. Namun di sisi lain globalisasi akan melibas nilai dan konsep budaya
lokal yang tidak sesuai dengan norma dan standar nilai internasional.
Sejalan dengan hal tersebut Tjandra (2004:12) mengungkap bahwa pokok-pokok
otonomi daerah antara lain: 1) konsep otonomi daerah berkaitan dengan cara
pembagian secara vertikal kekuasaan pemerintahan, 2) dasar kerakyatan dalam
desentralisasi adalah hak rakyat di daerah untuk menentukan nasibnya sendiri
dan mengatur pemerintahan sendiri (zelf bestuur), 3) sistem pelayanan
publik yang efektif dan efisien adalah prinsip dasar dari desentralisasi, 4)
pemerintahan daerah yang sinergis dengan prinsip Good Governance adalah
pemerintahan daerah yang berkarakter terbuka, kerakyatan, akuntabel dan
partisipatif.
2 komentar:
ijin share materinya ya mas
silahkan mas
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH MENGUNAKAN KATA-KATA YANG BAIK